(Simbiosis Mutualisme Antara Media dan “Darling”-nya)
Sedikit
berbagi, tentang apa yang saya pahami. Tapi sifat tulisan ini, adalah opini
serta seobjektif yang saya bisa.
Paragraf
saya mulai dari apa yang dimaksud Redaktur Ganas, versi saya.
Sebuah
media yang bagus adalah media yang menyediakan informasi yang paling ingin
dibaca oleh pembacanya. Serta tidak berpihak. Untuk memenuhi ini, oleh seorang
redaktur pada wartawannya, ada istilah “rukun iman” atau 5w1h. Secara sederhana
ini berarti bahwa isi berita yang dicetak di setiap laman media cetaknya:
lengkap.
lengkap.
Untuk
membuat sebuah berita lengkap, adalah tugas seorang redaktur yang melakukan
perencanaan matang lalu menugaskan wartawannya di lapangan. Nah, “redaktur
ganas” akan muncul, seketika saat berita yang disetor wartawan bersangkutan
tidak sesuai rukun iman.
Di sini, redaktur
ganas tidak berkonotasi negatif, melainkan menunjukkan profesionalismenya dalam
menyajikan berita.
Misal, pada
sebuah daerah terjadi sebuah bencana alam. Sang redaktur ingin agar wartawan
memperoleh informasi terkait Mengapa,
Bagaimana (Kapan dan Di mana), data lengkap, Apa selanjutnya, dsb.
Demi
berimbangnya isi berita, selain menggali info dari masyarakat bersangkutan,
tentu info juga wajib diperoleh dari narsum (narasumber) lain, pelaksana
kepemerintahan, misalnya. Dan… tantangan biasa muncul di sini.
Dengan “ganas”
sang redaktur mengeluarkan komando pada prajuritnya, “Kejar beritanya sampe
dapat. Tanyai si ini, si itu (pemerintah, Red), langkah konkret “Apa” yang akan
mereka lakukan untuk menyelesaikan bencana alam ini”.
Pada
saat-saat seperti itu, wartawan “ditekan” untuk menyetor berita yang isinya
sesuai perintah redaktur. Tidak ada istilah tidak bisa.
Tidak bisa seperti apa?
Misal,
“Maaf Bang Redaktur, Pak ini-itu tidak bisa dikonfirmasi. Saya sudah tunggui di
kantornya malah sampe jam pulang kantor, saya tanya jadwal kegiatannya sama
stafnya tp ternyata dia gak ngikuti, sudah saya telpon tapi no HP-nya tidak
aktif, sempat aktif tp tidak diangkat. Terus saya ke rumahnya, tapi kata
istrinya dia ke luar kota.”
Pada
masa-masa seperti ini, seorang wartawan seolah berubah menjadi detektif. Tapi
detektif gagal karena tidak menyelesaikan penugasan sebelum deadline setor
berita.
Hal inilah
yang membuat redaktur menjadi ganas. Redaktur ganas karena profesionalisme,
kecuali kalau media cetaknya tidak berbobot.
*****
Selanjutnya,
akan saya ceritakan tentang Media Darling, versi saya.
Gaya
komando khas militer dari sang redaktur pada wartawannya dijawab “Siap, Bang!!
Sebelum deadline berita sudah jadi”.
Untuk
contoh kasus di atas (bencana alam, Red), sesaat setelah turun perintah,
wartawan dengan cepat akan mengontak pihak berkepentingan (pemerintah) demi
menggali informasi.
Saya beri
pemisalan lagi, contohnya pada suatu daerah --entah di mana. Seorang kepala
pemerintahannya memiliki sifat: “Mudah ditemui atau dihubungi karena tidak
mengeksklusifkan diri; Ketika diwawancarai langsung menjawab; Jawaban yang dia
berikan bersifat solutif; serta Amanah dan Konsisten melaksanakan atas solusi
yang telah ia sampaikan ke penanya”.
Selanjutnya,
setelah wawancara, seorang pewarta di sebuah media tertentu melaporkannya dalam
sebuah berita pada redakturnya. Sang redaktur yang professional ini senang,
ganasnya hilang. Sang wartawan pun juga berbahagia karena dipuji redaktur,
pulang ke rumah sambil tersenyum-senyum, dan selanjutnya, dan selanjutnya..
Mungkin
suatu saat wartawan ini bisa naik jabatan lebih cepat dari semestinya. Karena
penugasan berita selalu selesai. Karena narasumbernya adalah yang tidak sulit
memberinya informasi dan konfirmasi yang dibutuhkan.
Apakah
wartawan yang pulang ke rumahnya dengan penuh senyum ini tidak otomatis
menjadikan sang narsum sebagai “kekasihnya” (baca: darling-nya) ???!
Apalagi
kalau narsum-nya adalah orang yang paling berwenang, misal kepala sebuah
kab/kota, yang memiliki otoritas “hampir penuh” sesuai konstitusi. Apalagi
kepala provinsi, apalagi kepala negara. Apalagi,,,,apalagi,,,,
Semua
pertanyaan yang tak terjawab sebelumnya oleh pejabat serupa tapi orang berbeda,
yang dahulu otomatis bikin pewarta “diganasi” redaktur,,,, menjadi pertanyaan mudah
terjawab.
Orang-orang
yang disukai oleh pewarta seperti ini disebut Media Darling.
Secara
psikologi, rasa bosan juga bisa menghampiri wartawan karena narsumnya itu-itu
saja. Tetapi kalau narsumnya adalah orang yang berkepribadian menawan, tentu
tidak akan terjadi. Lalu, tren Media Darling hanya pada narsum yang
berpenampilan menarik secara fisik: wajah tampan/cantik, bodi ideal (tidak
kurus apalagi kerempeng), rambut lebat tidak berketombe, kantong tebal karena
loyal pada wartawan…. Menjadi tidak tren lagi.
Sebagai
tambahan dari saya, “Coba perhatikan para jubir pejabat, selain pandai
berbicara, tak pernah pula mereka tidak ‘cakap alias cakep’”.
*****
Terakhir,
adalah pencitraan.
Saya tidak
akan membahas lebih “panjang dan lebar sama dengan luas” tentang yang satu ini.
Kecuali tentang kapan dugaan politik pencitraan ini muncul.
Adalah
ketika sang Media Darling menjadi begitu berbahaya oleh lawan politiknya.
“Lawan Politik”.
“Lawan
Politik” saya tanda kutipkan karena hanya politik yang bisa mengirikan yang
kanan, membalikkan yang sudah terbalik, atau membelakangkan yang di depan,
menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah, dan seterusnya, dan
seterusnya, dan sebaliknya, dan seterusnya.
Pokoknya
politik itu membolak-balikkan segalanya.
*****
Sekian,
saatnya….saya ngantorr….
Balikpapan, 21-11-2014 _Pukul 16.00 Wita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar