f Pena: Media Darling, (Politik) Pencitraan, dan Redaktur Ganas (1)

Seorang teman pada saya mengatakan, per kosa kata...per budak pena.

Sabtu, 29 November 2014

Media Darling, (Politik) Pencitraan, dan Redaktur Ganas (1)

(Simbiosis Mutualisme Antara Media dan “Darling”-nya)

Sedikit berbagi, tentang apa yang saya pahami. Tapi sifat tulisan ini, adalah opini serta seobjektif yang saya bisa.


Paragraf saya mulai dari apa yang dimaksud Redaktur Ganas, versi saya.

Sebuah media yang bagus adalah media yang menyediakan informasi yang paling ingin dibaca oleh pembacanya. Serta tidak berpihak. Untuk memenuhi ini, oleh seorang redaktur pada wartawannya, ada istilah “rukun iman” atau 5w1h. Secara sederhana ini berarti bahwa isi berita yang dicetak di setiap laman media cetaknya:
lengkap.

Untuk membuat sebuah berita lengkap, adalah tugas seorang redaktur yang melakukan perencanaan matang lalu menugaskan wartawannya di lapangan. Nah, “redaktur ganas” akan muncul, seketika saat berita yang disetor wartawan bersangkutan tidak sesuai rukun iman.

Di sini, redaktur ganas tidak berkonotasi negatif, melainkan menunjukkan profesionalismenya dalam menyajikan berita.

Misal, pada sebuah daerah terjadi sebuah bencana alam. Sang redaktur ingin agar wartawan memperoleh informasi terkait Mengapa, Bagaimana (Kapan dan Di mana), data lengkap, Apa selanjutnya, dsb.

Demi berimbangnya isi berita, selain menggali info dari masyarakat bersangkutan, tentu info juga wajib diperoleh dari narsum (narasumber) lain, pelaksana kepemerintahan, misalnya. Dan… tantangan biasa muncul di sini.

Dengan “ganas” sang redaktur mengeluarkan komando pada prajuritnya, “Kejar beritanya sampe dapat. Tanyai si ini, si itu (pemerintah, Red), langkah konkret “Apa” yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan bencana alam ini”.

Pada saat-saat seperti itu, wartawan “ditekan” untuk menyetor berita yang isinya sesuai perintah redaktur. Tidak ada istilah tidak bisa.

Tidak bisa seperti apa?

Misal, “Maaf Bang Redaktur, Pak ini-itu tidak bisa dikonfirmasi. Saya sudah tunggui di kantornya malah sampe jam pulang kantor, saya tanya jadwal kegiatannya sama stafnya tp ternyata dia gak ngikuti, sudah saya telpon tapi no HP-nya tidak aktif, sempat aktif tp tidak diangkat. Terus saya ke rumahnya, tapi kata istrinya dia ke luar kota.”

Pada masa-masa seperti ini, seorang wartawan seolah berubah menjadi detektif. Tapi detektif gagal karena tidak menyelesaikan penugasan sebelum deadline setor berita.

Hal inilah yang membuat redaktur menjadi ganas. Redaktur ganas karena profesionalisme, kecuali kalau media cetaknya tidak berbobot.
*****

Selanjutnya, akan saya ceritakan tentang Media Darling, versi saya.

Gaya komando khas militer dari sang redaktur pada wartawannya dijawab “Siap, Bang!! Sebelum deadline berita sudah jadi”.

Untuk contoh kasus di atas (bencana alam, Red), sesaat setelah turun perintah, wartawan dengan cepat akan mengontak pihak berkepentingan (pemerintah) demi menggali informasi.

Saya beri pemisalan lagi, contohnya pada suatu daerah --entah di mana. Seorang kepala pemerintahannya memiliki sifat: “Mudah ditemui atau dihubungi karena tidak mengeksklusifkan diri; Ketika diwawancarai langsung menjawab; Jawaban yang dia berikan bersifat solutif; serta Amanah dan Konsisten melaksanakan atas solusi yang telah ia sampaikan ke penanya”.

Selanjutnya, setelah wawancara, seorang pewarta di sebuah media tertentu melaporkannya dalam sebuah berita pada redakturnya. Sang redaktur yang professional ini senang, ganasnya hilang. Sang wartawan pun juga berbahagia karena dipuji redaktur, pulang ke rumah sambil tersenyum-senyum, dan selanjutnya, dan selanjutnya..

Mungkin suatu saat wartawan ini bisa naik jabatan lebih cepat dari semestinya. Karena penugasan berita selalu selesai. Karena narasumbernya adalah yang tidak sulit memberinya informasi dan konfirmasi yang dibutuhkan.

Apakah wartawan yang pulang ke rumahnya dengan penuh senyum ini tidak otomatis menjadikan sang narsum sebagai “kekasihnya” (baca: darling-nya) ???!

Apalagi kalau narsum-nya adalah orang yang paling berwenang, misal kepala sebuah kab/kota, yang memiliki otoritas “hampir penuh” sesuai konstitusi. Apalagi kepala provinsi, apalagi kepala negara. Apalagi,,,,apalagi,,,,

Semua pertanyaan yang tak terjawab sebelumnya oleh pejabat serupa tapi orang berbeda, yang dahulu otomatis bikin pewarta “diganasi” redaktur,,,, menjadi pertanyaan mudah terjawab.

Orang-orang yang disukai oleh pewarta seperti ini disebut Media Darling.

Secara psikologi, rasa bosan juga bisa menghampiri wartawan karena narsumnya itu-itu saja. Tetapi kalau narsumnya adalah orang yang berkepribadian menawan, tentu tidak akan terjadi. Lalu, tren Media Darling hanya pada narsum yang berpenampilan menarik secara fisik: wajah tampan/cantik, bodi ideal (tidak kurus apalagi kerempeng), rambut lebat tidak berketombe, kantong tebal karena loyal pada wartawan…. Menjadi tidak tren lagi.

Sebagai tambahan dari saya, “Coba perhatikan para jubir pejabat, selain pandai berbicara, tak pernah pula mereka tidak ‘cakap alias cakep’”.
*****

Terakhir, adalah pencitraan.

Saya tidak akan membahas lebih “panjang dan lebar sama dengan luas” tentang yang satu ini. Kecuali tentang kapan dugaan politik pencitraan ini muncul.

Adalah ketika sang Media Darling menjadi begitu berbahaya oleh lawan politiknya. “Lawan Politik”.

“Lawan Politik” saya tanda kutipkan karena hanya politik yang bisa mengirikan yang kanan, membalikkan yang sudah terbalik, atau membelakangkan yang di depan, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah, dan seterusnya, dan seterusnya, dan sebaliknya, dan seterusnya.

Pokoknya politik itu membolak-balikkan segalanya.
*****


Sekian, saatnya….saya ngantorr….
Balikpapan, 21-11-2014  _Pukul 16.00 Wita


Tidak ada komentar:

Posting Komentar