f Pena: How to Lie with "Quick Count"

Seorang teman pada saya mengatakan, per kosa kata...per budak pena.

Senin, 25 Agustus 2014

How to Lie with "Quick Count"

CATATAN: FEBRINA PUSPA*
(eb@kaltimpost.net)

HARI ini, bisa jadi Komisi Pemilihan Umum Pusat benar-benar mengumumkan hasil penghitungan resmi (real count) Pemilu Presiden 2014. Tapi bisa juga ditunda hingga besok. Setidaknya itulah yang telah diumumkan di media.

Di antara kebingungan publik akan hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei, paling tidak kepastian jadwal pengumuman oleh KPU bisa menjadi obat penawar.

Ya, sejak 9 Juli lalu, publik sudah dibingungkan dengan perbedaan hasil quick count dua pasang capres-cawapres peserta pilpres kali ketiga di negeri ini. Pasalnya, gembar-gembor pendeklarasian kemenangan dari dua kubu timses capres yang “bertarung” ini bertolak belakang. Akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan pada sebagian masyarakat yang menilai mana mungkin kedua capres sama-sama menang.

Fenomena ini mengingatkan saya ketika masih duduk di bangku semester I di sebuah universitas negeri di
Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam diskusi panjang bersama teman sekelas pada mata kuliah yang dinamai “Statistika Dasar”, dosen pengajar, ketika itu, akhirnya menengahi debat kami dengan mengumumkan keberadaan sebuah buku berjudul “How to Lie with Statistics”, karya Darrell Huff tahun 1954.

Blub-blub, rasa kagum saya sebagai mahasiswa baru --dengan semangat baru-- pada statistika ketika itu “membubur”. Kepercayaan saya pada salah satu cabang ilmu matematika terapan seketika menciut mendengar judul buku itu. Catatan saya ini, mempelesetkan judul buku yang telah ditulis sejak 60 tahun lalu itu.

Sekarang, hal yang serupa juga tengah terjadi di dunia perpolitikan bangsa kita. Yakni, ketika pencitraan di media adalah segalanya demi menaikkan pamor. Dan, ketika hal buruk atau baik dari seorang peserta pemilu bisa dihapus hanya dengan pencitraan di media massa.

Melalui telepon, ketika saya berdiskusi ringan dengan salah satu teman yang baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di bidang statistika ITS Surabaya beberapa waktu lalu mengatakan, perbedaan hasil quick count itu wajar.

Perbedaan bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti metode hitung yang dipilih atau kesalahan selama proses pengolahan hasil. Namun, yang paling utama bisa terjadi karena sampel atau perwakilan data yang dijadikan ukuran perhitungan quick count itu sendiri.

Sampel yang dijadikan acuan oleh lembaga survei yang satu dan lainnya “sangat mudah berbeda”. Bisa jadi karena kepentingan atau faktor yang lainnya. Ya, namanya juga quick count. Hitungnya cepat-cepat, entahlah.

Teman saya itu mengatakan bahwa hasil quick count beberapa lembaga survei di media memang menunjukkan selisih yang tidak signifikan. Dan pada statistik, secara umum hal ini dapat dianggap wajar. Walaupun kemudian selisih yang rata-rata sekitar 5 persen itu sangat berarti, mengingat jumlah daftar pemilih tetap (DPT) mencapai total 190 juta jiwa. Dengan catatan, tidak semua pemilih ikut berpartisipasi.

Lalu ketidakpercayaan yang muncul akhirnya mengerucut pada dipertanyakannya kredibilitas kedua belas lembaga survei yang turut mengumumkan hasil quick count pada publik. Diketahui, dari 12 lembaga survei ini, ada 8 yang meyakini kemenangan di kubu nomor urut 2, Jokowi-JK. Sedangkan selebihnya, menyatakan kemenangan atas kubu no urut 1, Prabowo-Hatta.

Mengambil pengalaman pilpres kali ini, alangkah baiknya kelak semua lembaga survei yang akan ikut serta pada pilpres atau pemilihan langsung selanjutnya untuk bersedia diaudit oleh lembaga independen tertentu. Adapun pengalaman dari fenomena ini juga baik, sebaik proses pendewasaan perjalanan demokrasi di Indonesia.

Quick count pada musim pilpres telah cukup merusak citra metodologi ilmiah dalam statistika di mata masyarakat. Pencitraan dalam memenangkan salah satu capres hingga melahirkan pendeklarasian sebelum ada hasil real count pemilu adalah fakta yang cukup menggelikan.

Tapi paling tidak, saya melihat quick count oleh lembaga-lembaga survei ini bisa membuat “rasa kecewa” lebih tidak terasa bagi kubu pendukung yang kalah. Ketika perlahan fakta pemenang pilpres sebenarnya di tiap daerah diumumkan, masing-masing kubu menjadi lebih legawa dan ikhlas menerima kenyataan jika calonnya kalah. Entah itu akan menjadi legawa yang akan dimiliki kubu no urut 1 Prabowo–Hatta. Ataukah pihak pengusung satunya yang “satu-satunya”, Jokowi–JK.

Mari menanti dan pastikan Indonesia tetap damai dengan lebih cerdas berdemokrasi.

*) Editor Bahasa Kaltim Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar